GARS Sulbar: Transparansi Bukan Ancaman, Tapi Kewajiban Konstitusional Pemdes Popenga

Sekati.id,MAJENE—Dalam iklim demokrasi yang sehat, pemerintah dan rakyat berjalan berdampingan, saling mengawasi, dan saling melengkapi. Namun realitas itu tampaknya belum sepenuhnya hadir di Desa Popenga. Belakangan ini, tensi meningkat akibat tuntutan keterbukaan informasi yang digaungkan oleh mahasiswa, yang justru disambut dengan sikap defensif dan pengalihan isu oleh pemerintah desa. Sebuah ironi yang tak layak terjadi di era keterbukaan informasi seperti saat ini.

Mahasiswa yang tergabung dalam gerakan kritis lokal menuntut satu hal yang sangat mendasar: transparansi anggaran desa. Mereka meminta agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dipasang secara terbuka di papan informasi desa. Ini bukan permintaan yang berlebihan, apalagi bersifat tendensius. Ini adalah amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang secara jelas mengatur bahwa pemerintah desa wajib menyampaikan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara terbuka kepada masyarakat.

Namun sayangnya, tuntutan ini tidak direspons dengan semangat akuntabilitas. Alih-alih menjawab substansi dari permintaan tersebut, pihak pemerintah desa justru melemparkan isu-isu tak rasional yang menjauh dari inti permasalahan. Isu liar yang dilempar ke publik tidak hanya membelokkan arah diskusi, tapi juga mencerminkan ketidakmatangan dalam menyikapi kritik. Sebuah refleksi yang buruk dari pemimpin publik yang seharusnya menjadi teladan dalam keterbukaan dan tanggung jawab.

Isu ini makin mencuat setelah muncul dugaan adanya kejanggalan dalam pelaksanaan program percetakan sawah tahun anggaran 2024. Sejumlah mahasiswa, yang juga mewakili keresahan warga, mempertanyakan detail program tersebut yang dinilai tidak jelas, mulai dari pelaksanaan, penggunaan dana, hingga hasil yang diharapkan. Ketertutupan informasi justru memperkuat asumsi adanya ketidakwajaran dalam proses pengambilan keputusan dan penggunaan anggaran.

Gerakan Anak Rakyat Sulawesi Barat (GARS-Sulbar) secara tegas menyarankan pemerintah desa untuk segera bersikap terbuka dan menjawab tuntutan itu secara jelas dan rasional. Keterbukaan bukan hanya cara meredam gejolak, tapi juga langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan publik yang mulai luntur. Bila tidak direspons dengan bijak, GARS meyakini bahwa dugaan pelanggaran hukum dalam tata kelola pemerintahan desa hanya akan makin kuat dan terbuka lebar di hadapan publik.

Kita tidak boleh lupa, bahwa desa adalah ujung tombak pembangunan. Justru karena posisinya yang dekat dengan rakyat, transparansi di tingkat desa menjadi krusial. Setiap rupiah yang dikelola oleh pemerintah desa adalah uang rakyat. Dan rakyat punya hak untuk tahu, mengawasi, dan bahkan mempertanyakan ke mana anggaran itu digunakan.

Pemerintah desa seharusnya menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi, bukan sebagai ancaman. Ketika rakyat bersuara, bukan berarti mereka melawan. Justru itulah bentuk partisipasi yang paling tulus dalam membangun desa bersama. Menutup diri dari kritik hanya akan mempercepat keretakan kepercayaan antara pemerintah dan warganya.

Kita juga patut menyoal: mengapa pemasangan APBDes di papan informasi desa—yang merupakan kewajiban hukum—masih dianggap hal remeh oleh sebagian pihak? Padahal ini adalah langkah sederhana namun sangat penting. Dengan APBDes yang terbuka, masyarakat bisa mengawal program, menilai prioritas, hingga mendorong efisiensi anggaran. Sebaliknya, ketertutupan justru membuka ruang gelap bagi potensi penyimpangan.

Perlu kita tegaskan bersama: transparansi bukanlah ancaman. Ia adalah kewajiban. Dan kewajiban ini bukan datang dari tekanan mahasiswa, melainkan dari perintah undang-undang. Ketika pemerintah desa memilih untuk tidak mematuhi amanat hukum, maka mereka telah memilih untuk berdiri di luar jalur konstitusi.

Pemerintah desa Popenga harus kembali ke pangkuan aturan. Jangan mempermainkan kepercayaan publik dengan narasi yang menjauh dari fakta. Dengarkan suara mahasiswa, karena mereka adalah representasi dari rakyat yang peduli. Jangan buru-buru memvonis mereka sebagai pembuat gaduh, karena sesungguhnya, di balik kegelisahan mereka, ada cinta yang besar terhadap desa ini.

Mari kita bangun Popenga dengan hati yang jernih, pikiran yang terbuka, dan komitmen yang teguh pada transparansi. Karena hanya dengan itulah, kita bisa memastikan bahwa desa ini benar-benar menjadi milik semua, bukan hanya milik segelintir yang merasa paling berkuasa.

GARS-Sulbar